Pages

Search In

Hasil penelusuran

Minggu, 28 Juli 2013

Ulumul Hadits II

A.    Pengertian hadits dhoif
Hadits dhoif secara bahasa berarti lemah artinya bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.

Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhoif ini akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi,diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan.
2.    Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih atau yang hasan)
3.    Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah  hadits yang jika satu syaratnya hilang.
B.    Kriteria hadits dhoif

Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan hadits hasan yang tidak terdaoat padanya,yaitu sebagai berikut sebagai berikut:
1.    Sanadnya tidak bersambung
2.    Kurang adilnya perawi
3.    Kurang dhobithnya perawi
4.    Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
5.    Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.
C.    Macam-macam hadits dhoif

Hadits dlaif  sangat banyak macamnya, masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu sama lain. Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 1 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan lebih baik daripada Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 2 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan dan begitu seterusnya.

Berdasarkan sebab-sebab di atas maka macam-macam hadits dhoif ini digolongkan menjadi beberapa kelompok di antaranya:
1.    Dhoif pada segi sanad,yaitu terbagi lagi menjadi:

a)    Dhoif karena tidak bersambung sanadnya,misalnya:

i)    Hadits munqathi’
Hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih atau pada sanadnyan disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.

ii)    Hadits muallaq
Hadits muallaq adalah hadits yangg rawinya digugurkan seorang atau lebih di awal sanadnya secara berturut-turut.

iii)    Hadits mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur disisn adalah nama sanad terakhirnya tidak disebutkan.

iv)    Hadits mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.

v)    Hadits mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits tersebut tidak bernoda.
Orang yang melakukan tadlis(perbuatannya) disebut mudallis dan haditsnya disebut hadits mudallas.

b)    Dhoif karena tidak ada syarat adil

1)    Hadits maudhu’
Hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta baik sengaja maupun tidak.

2)    Hadits matruk dan hadits munkar
Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta(terhadap hadits-hadits yang diriwayatkannya) atau tampak kefasikannya baik pada perbuatan atau pada perkataanya,atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.

Sedangkan hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhoif) yang bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.

c)    Dhoif karena tidak ada dhobit

1)    Hadits mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan,padahal bukan (bagian dari) hadits.
2)    Hadits maqlub
Hadits maqlub yaitu hadits yang lafaz matannya tertukar pada salah seorang perawi pada salah seorang perawi atau seseorang pada sanasnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya,yang seharusnya disebut belakangan atau mengakhirkann penyebutannya,yang seharusnya di dahulukan atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
3)    Hadits mudhtharib
Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan periwayatannya yang berbeda-beda padahal berasal dari satu perawi(yang meriwayatkan),dua atau lebih atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan(dan tidak bisa ditarjih).
4)    Hadits mushahhaf dan hadits muharraf
Hadits mushahhaf adalah hadits yang perbedaannya(dengan hadits riwayat lain) terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.

Sedangkan hadits muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.

d)    Dhoif karena kejanggalan dan kecacatan

1)    Hadits syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang maqbul,aka tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih utama.
2)    Hadits mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya telah tamoak selamat(dari cacat) coontoh hadits mu’allal:
‘’si penjual dan si pembeli boleh memilih selama belum berpisahan’’

2.    Dhoif pada segi matan

Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dhoif dari sudut penyandarannya ini adalah hadits mauquf dan hadits maqhthu’.

1)    Hadits mauquf
Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan,perbuatan,atau taqrirnya. Periwayatannya baik bersambung atau tidak.
2)    Hadits maqthu’
Hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.

D.    Kehujjahan hadits dhoif

Hadits dhoif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhoiffannya misalnya karena kemaudhu’annya, ada juga yang bisa tertutupi kedhoiffannya(karena ada faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut, berdasarkan kesepakatan para ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal.

Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dhoif tersebut ,ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik unuk penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal  dengan alasan karena hadits dhoif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah SAW. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah imam al Bukhari,imam muslim, dan Abu bakr abnu Al ‘Araby.

Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits dhoif ini secara mutlak adalah imam Abu Hanifah, An-Nasa’i dan juga Abu dawud. Mereka berpendapat bahwa megamalkan hadits dhoif ini lebih disukai dibandingkan mendasrkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu Hambal,Abd Al-Rahman ibn Al-Mahdy dan Abdullah ibn Al mubarak menerima pengalaman hadits dhoif sebatas fadhail al ‘amal saja,tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau masalah akidah.

Al-Qasiny memaparkan pendapat-pendpat ulama hadits yang lain tentang penerimaan terhadap hadits dhoif ini, yang juga tidak jauh berbeda dengan pemaparan di atas. Misalnya, ia mengutip pendapat ibnu Sholeah bahwa ia sendiri dalam kitabnya yang biasa dikenal ‘’Muqaddimah Ibnu Al-Sholah’’ tidak banyak mengulas tentang hal ini, selain kata ‘’hendaknya tentang fadhail dan semisalnya’’. Sementara Ibnu Hajar mengemukakan tiga syarat yang harus ada pada hadits dhoif yang bisa diterima dan diamalkan,yaitu:
•    pertama, tingkat kelemahannya tidak parah: orang yang meriwayatkan bukan termasuk pembohong atau tertuduh berbohong atau kesalahannya abanyak.
•    Kedua, tercakup dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak bertentangan dengan hadits yang shohih(yang bisa diamalkan), ketiga, ketika mengamalkannya tidak seratus persen meyakini bahwa hadits tersebut benar-benar datang dari Nabi SAW,tetapi maksud mengamalkannya semata-mata untuk ikhtiyath

Sementara As-Suyuti sendiri cendrung membolehkan beramal dengan hadits dhoif termasuk dalam masalah hukum dengan maksud ikhtiyath. Ia mendasarkan pada pendapat Abu Daud, Iama ibn Hambal yang berpendapat bahwa itu lebih baik dibanding menggunakan akal atau rasio atau pendapat seseorang.
E.    Kitab-kitab yang memuat hadits dhoif
Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:
•    Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.
•    Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif
•    Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
•    Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.
Kesimpulan

1.    Hadits dhoif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhoif ini memilki penyebeb mengapa bisa tertolak di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan.
2.    Kriteria hadits dhoif adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung,kurang adilnya perawi,kurang dhobiyhnya perawi dan Ada syadz dalam hadits tersebut.
3.    Hadits dhoif terbagi menjadi beberapa kelompok baik itu yang didasarkan pada pembagian berdasarkan sanad hadits atau juga matan hadits.
4.    Dalam menyikapi penerimaan dan pengamalan hadits dhoif ini terhadi khilafiah di kalangan ulama,ada yang membolehkannya dan ada juga yang secara mutlak tidak membolehkan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
5.    Kitab yang memuat hadits dhoif adalah  Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban, Kitab al-Marasil karya Abu Daud, Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni.
SYARAT-SARAT SEORANG RAWI
Rarawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-appa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya)

Menurut ta’rif muhadditsin bahwa suatu hadist dapat dinilai shahih apabila perawinya memenuhi lima syarat berikut:
1. Sanadnya bersambung (tidak terputus)
2. Rawinya bersifat adil
3. Rawinya bersifat dabit
4. Rawinya bersifat syuzuz
5. Terhindar dari ‘illat
a.1 Sanadnya bersambung (tidak terputus)
ialah; sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
a.2 Rawinya bersifat adil
Butir-butir syarat yang dapat ditetapkan sebagai unsur-unsur kaidah periwayat yang adl adalah:
a. beragama islam
b. mukallat
c. melaksanakan ketentuan agama
d. memelihara muru’ah
a.3 Rawinya bersifat dabit
yang dimaksud dengan dabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja dia menghendakinya.

Butir-butir sifat dabit yang telah disebutkan adalah:
a. tidak pelupa
b. periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya)
c. periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya)
d. periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalkannya itu, baik: (1) kapan saja dia mengendakinya (2) sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepda orang lain.
a.4 Terhindar dari syuzuz (ke-syah-syahan)/Rancu
Kejanggalan suatu hadist itu, terletak kepada adanya perlawanan antara suatu hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang antara suatu hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang diterima periwayatnya) dengan hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kedhabitan rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
a.5 Terhindar dari ‘illat
Ialah: suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai keshahihan suatu hadist. Keberadaannya menyebabkan hadist yang pada ahirnya tampak berkualitas sakhih menjadi tidak sah.
METODOLOGI PERIWAYATAN HADIS
A. Pendahuluan
Hadis Nabi Saw. merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang dihadirkan sebagai salah satu petunjuk bagi umat Islam dalam menjalankan tuntunan agamanya. Keberadaan hadis dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan.
Namun, kehadiran hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi penentu boleh atau tidaknya suatu hadis untuk dijadikan hujjah. Hal ini yang menyebabkan ijtihad para ulama hadis bisa melahirkan dua komponen ilmu dalam mempelajari, memahami, menganalisa dan mengamalkan hadis Nabi saw, yaitu yang dikenal dengan ilmu riwayah dan ilmu dirayah hadis . Keduanya tidak dapat dipisahkan sebagai dasar untuk mengetahui otentisitas hadis.
Di awal masa Islam sudah timbul perbedaan pemahaman dalam penyampaian redaksi hadis yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual sehingga melahirkan apa yang disebut dengan periwayatan hadis bi al-lafẓi wa al-ma’na. Pada tingkat selanjutnya ada permasalahan dalam tata cara penerimaan dan penyampaian hadis yang dikenal dengan istilah taḥammul al-ḥadīth wa adā’uhū, yang bisa menentukan kualitas sebuah hadis karena terkait dengan orang yang meriwayatkannya.
Dalam makalah ini kami akan mendeskripsikan dan menganalisa lebih jauh tentang taḥammul al-ḥadīth wa adā’uhū dan periwayatan hadis bi al- lafẓi wa al-ma’na, sebagai salah satu bidang cakupan penentu kevalidan sebuah hadis.
B. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Lafẓiy dan bi al-Ma’na
Ada dua tata cara dalam proses transmisi redaksi hadis, yakni periwayatan yang dilakukan secara lafal dan periwayatan secara makna.
1. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Lafẓiy
Periwayatan hadis dengan lafal adalah cara periwayatan hadis yang disampaikan sesuai dengan lafal yang disabdakan oleh Nabi saw. secara persis tanpa ada perubahan sedikitpun pada tatanan kalimatnya. Atau dengan kata lain, meriwayatkan hadis dengan lafal yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw.
Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyika”. Untuk lebih jelasnya penulis bisa menyajikan bentuk doa yang diajarkan oleh Nabi saw kepada al-Barra’ bin ‘Azib, sebagai berikut;
إذا أويت الى فراشك طاهرا فتوسد يمينك ثم قل: اللهم أسلمت وجهي اليك وفوضت أمري اليك وألجأت ظهري اليك لا ملجأ ولا منجى الا اليك. أمنت بكتابك الذي أنزلت ونبيك الذي أرسلت.
“Apabila kamu berbaring di tempat tidurmu dalam keadaan suci lalu meletakkakan tangan kananmu (pada kepalamu sebagai bantal) maka berdoalah; Ya Allah aku sejahterakan wajahku di hadapan-Mu, aku pasrahkan urusanku pada-Mu, dan aku lindungkan harapanku pada-Mu, tiada pelindung dan tempat berharap selain kepada Engkau. Aku beriman pada kitab yang Engkau turunkan dan kepada nabi yang Engkau utus.”
Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis.
Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
a. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat, dan lain sebagainya.
Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
“Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi. ”
b. Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.
Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
c. Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah swt, seperti;
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك، أين ملوك الأرض؟
“Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw.
Menurut hemat penulis, periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
2. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadis diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah saw. periwayatan hadis itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan yang bukan dari Nabi saw. tetapi mereka menyandarkannya pada Nabi saw demi kepentingan diri atau kelompok mereka. Yaitu, dengan mengharuskan para perawi menyampaikan hadis apa adanya, tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikitpun, sehingga redaksi hadis tidak mengalami perubahan sama sekali.
Tetapi dalam kenyataannya, banyak dijumpai hadis yang memiliki makna sama tapi diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita bisa menjumpai komentar hadis “muttafaq ‘alayh, wa al-lafẓ li Muslīm, atau wa al-lafẓ li al-Bukhārīy”. Dengan demikian, tampak sangat jelas bahwa periwayatan hadis secara makna itu ada dan diperbolehkan.
Bisa didefinisikan bahwa periwayatan hadis dengan makna adalah periwayatan hadis dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain, apa yang diungkapkan oleh Rasulullah saw hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafal atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat memiliki kualitas daya ingatan yang beragam, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu, kemungkinan masanya sudah lama sehingga yang masih diingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafal/matan yang lain meskipun maknanya tetap tanpa ada perubahan.
Untuk memperjelas adanya hadis yang diriwayatkan secara makna penulis akan memberikan gambaran contoh sebagai berikut;
لا يجد احد حلاوة الايمان حتى يحب المرء لا يحبه الا لله و حتى ان يقذف فى النار احب اليه من ان يرجع الى الكفر بعد إن انقذه الله وحتى يكون الله ورسوله احب اليه مما سواهما.
“Tidaklah seseorang akan mendapatkan manisnya iman sampai ia mencintai seseorang hanya karena Allah, lebih senang dilempar ke dalam neraka daripada kembali pada kekufuran sesudah ia diselamatkan oleh Allah, dan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada lainnya”.
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار.
“Tiga hal yang membuat seseorang akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari lainnya, ia mencintai seseorang karena Allah dan membenci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dicampakkan ke dalam neraka”.
Hadis di atas sama-sama menerangkan tema tentang iman, namun keduanya diungkapkan dengan redaksi yang berbeda, baik dalam penggunaan lafal maupun susunannya.
3. Sikap Para Sahabat dan Jumhur Ulama terhadap Periwayatan Hadis bi al-Ma’na
Para sahabat yang banyak menerima hadis dengan redaksi yang beragam, antara lain, adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib, Ibnu Abbās, Anas bin Mālik, Abū Hurairah, ‘Amr bin ‘Ash, ‘Ikrāmah, dan lain sebagainya. Secara tidak langsung mereka memperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna.
Jumhur ulama pun sebenarnya telah sepakat memperbolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadis dengan maknanya saja tidak harus dengan lafal aslinya, tetapi dengan syarat ia termasuk orang yang berilmu sangat dalam mengenai Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaian dan penyusunan kalimatnya, dan berpandangan luas tentang fiqh beserta istilah-istilah hukum di dalamnya sehingga akan tetap terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis tersebut. Kalau tidak demikian maka tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis hanya dengan maknanya saja dan wajib menyampaikan dengan lafal yang ia dengan dari gurunya.
Imam Shāfi’iy menerangkan tentang sifat-sifat perawi;
“Hendaknya orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna, karena apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.”
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafal yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafal dan maknanya.
Bahkan, Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya jika susunan lafalnya tidak bisa diingat lagi, sebab jika hadis tersebut tidak tersampaikan meski dengan maknanya, maka ia termasuk orang yang menyembunyikan sumber hukum Islam, yaitu hadis itu sendiri.
Dalam kesempatan lain Al-Māwardiy juga berpendapat; “Jika seseorang tidak lupa kepada lafal hadis niscaya tidak boleh dia menyebutkan hadis itu dengan bukan lafalnya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri terdapat faṣaḥaḥ yang tidak terdapat pada perawinya.”
Pendapat lain diungkapkan oleh Ibnu Sirin , “Aku telah mendengarkan hadis dari sepuluh perawi yang mengandung makna sama tapi diungkapkan berbeda-beda.”
Dengan pengakuan di atas menunjukkan bahwa periwayatan hadis dengan makna sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam. Gambaran kondisi ini juga yang memperkuat pendapat jumhur ulama tentang pembolehan meriwayatkan hadis dengan makna, termasuk di dalamnya imam mazhab yang empat.
Hadis Rasulullah saw menjadi landasan untuk memperkuat pendapat para ulama yang memperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna. Hadis riwayat al-Baihaqiy dari Abdullah bin al-Ukaymah al-Laith, Nabi saw bersabda;
إذا لم تحلوا حراما ولا تحرموا حلالا فلا بأس
“Jika kalian tidak merubah yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal maka itu tidak apa-apa”
Untuk menjaga sikap kehati-hatiannya dalam setiap meriwayatkan hadis para sahabat, tabi’in dan para ahli hadis setelah mereka sudah mentradisikan ungkapan khusus sebagai tanda bahwa hadis yang diriwayatkannya dilakukan secara makna, terutama mengenai keadaan peperangan atau peristiwa tertentu, setelah meriwayatkan hadis mereka mengatakan “aw kamā qāla” (atau seperti yang disabdakan Nabi saw), “aw qarīban minhu” (atau yang mendekati), “aw nahwa hādha” (atau riwayat sejenis ini), atau “aw shibhahu” (atau riwayat yang serupa). Praktek seperti ini sering dilakukan oleh Abdullah Ibnu Mas’ūd, Abu Darda’, Anas bin Malik, dan lain-lain. Maka sepatutnya kiranya kita mengikuti jejak mereka dalam setiap selesai mengutarakan sebuah hadis sebagai sikap kehati-hatian kita atau memang ada keraguan dalam membacakan susunan kalimatnya.
Selajutnya, ulama hadis mempersoalkan tentang boleh tidaknya perawi hadis meringkas atau memenggal matan hadis. Ada yang melarangnya, ada yang membolehkannya tanpa syarat dan ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat yang terakhir ini banyak diikuti oleh ulama hadis, syarat yang dimaksud adalah:
a. yang melakukan ringkasan bukanlah periwayat hadis yang bersangkutan.
b. apabila peringkasan dilakukan oleh periwayat hadis, maka harus ada hadis yang dikemukakan secara sempurna.
c. tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian (al-istithnā’), syarat, penghinggaan (al-ghāyah) dan yang semacamnya.
d. peringkasan tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam hadis yang bersangkutan.
e. yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar telah mengetahui kandungan hadis yang bersangkutan.
Menurut penulis, ulama berbeda pendapat tentang periwayatan hadis dengan cara meringkas atau memenggal matan tersebut. Sesungguhnya berpangkal dari perbedaan tentang boleh-tidaknya periwayatan secara makna. Pendapat yang cukup realistik dan hati-hati adalah pendapat yang membolehkannya dengan catatan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.
C. Metodologi al-Taḥammul wa al-Adāʻ Hadis
Dalam ilmu hadis istilah yang digunakan oleh ulama ahli hadis tentang proses penerimaan dan periwayatan hadis (al-Taḥammul wa al-Adāʻ).
1. Definisi al-Taḥammul al-Hadith dan al-Adāʻ al-Hadīth
Pengertian al-taḥammul menurut bahasa yaitu bentuk maṣdar dari : تَحَمَّلَ – يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً. Dikatakan حَمَّلَهُ الأمْرُ maknanya adalah “membebankan suatu urusan kepadanya”, sedangkan menurut istilah adalah mengambil sebuah hadis dari seorang guru dengan cara atau metode tertentu (sebagaimana yang akan dibahas selanjutnya). Dan sebaliknya kegiatan menyampaikan atau meriwayatkan hadis dari seorang perawi kepada orang lain disebut dengan istilah al-adā’.
2. Syarat Kelayakan Penerima dan Penyampai Hadis
Dalam kelayakan si penerima hadis para ulama memfokuskan diri pada pengambil hadis dari kalangan anak-anak. Karena tidak tertutup kemungkinan ada seorang perawi hadis yang ketika menerima hadis ia masih kecil sehingga dimungkinkan juga periwayatan hadisnya tidak sesuai dengan apa yang diterima dari gurunya. Contoh dari kalangan sahabat pada saat mereka masih belia sudah menerima hadis adalah seperti Ḥasan Ḥusain, Abdullah bin Zubayr, Anās bin Mālik, Abdullah bin Abbās, Abū Sa’id al-Khuḍriy, Mahmūd bin Rabī’, dan sebagainya. Namun demikian para sahabat, tabi’in dan ulama fiqh tetap saja menerima hadis mereka tanpa ada pemilihan antara hadis yang mereka terima di waktu para sahabat tadi belum baligh dan sesudah baligh.
Ada syarat ukuran usia dari perawi yang masih anak-anak untuk bisa mendengarkan riwayat hadis, yaitu ukuran tamyiz. Namun permasalahan yang muncul kemudian adalah mengenai ukuran tamyiz itu sendiri bagi bisa dipandang berbeda-beda. Untuk itulah para ulama juga berbeda dalam menentukan boleh dan tidaknya anak yang belum baligh menerimakan hadis. Perbedaan tersebut tergambar sebagai berikut;
a. Umur minimalnya lima tahun. Ini dilandaskan pada riwayat Imam al-Bukhārīy dalam ṣaḥīḥ-nya dari hadis Muḥammad bin Rabī’ ra. berkata; “aku masih ingat siraman Nabi saw dari timba ke mukaku, dan aku ketika itu berusia lima tahun.”
b. Kegiatan mendengar oleh anak-anak itu bisa absah jika ia sudah bisa membedakan antara sapi dan himar. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hafīẓ Musa bin Hārūn al-Hammāl.
c. Keabsahan mendengarkan hadis bagi anak-anak jika ia telah memahami isi pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah masuk usia tamyiz. Pendapat ini dirumuskan oleh ulama hadis mutaqaddimīn.
Sebenarnya kegiatan mengumpulkan dan meriwayatkan hadis pada anak-anak sudah biasa terjadi di kalangan ulama, baik mutaqaddimīn maupun muta’akhkhirīn. Terbukti bahwa beberapa ahli hadis seperti al-A’mash aktif menyebarkan hadis pada anak-anak. Ini menunjukkan secara jelas tentang keabsahan anak yang belum baligh mendengarkan hadis.
Adapun orang yang menyampaikan (adā’ al-hadīth) hadis harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Islam. Hadis yang diriwayatkan oleh non Islam tidak dapat diterima.
b. Baligh dan berakal sehat. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tidak mukallaf tidak dapat diterima.
c. Al-’adalah. Yang dimaksud dengan persyaratan ini adala sifat yang melekat pada seorang periwayat hadis sehingga ia selalu setia terhadap Islam. Orang ini tidak mau melakukan dosa besar, dan selalu menjaga diri sedapat mungkin tidak melakukan dosa kecil.
d. Al-dhabtu. Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, bak ketika menerima pelajaran hadits maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar, dan tidak pelupa.
Menurut analisa penulis, kriteria di atas merupakan penentu diterima tidaknya riwayat hadis yang mereka sampaikan. Salah satu syarat tidak terpenuhi maka gugurlah ia sebagai perawi hadis. Meskipun kegiatan menerima hadis di kalangan anak-anak masih diperbolehkan tetapi dalam menyampaikan atau meriwayatkan hadis mereka belum bisa diterima. Dengan kata lain, boleh menerima hadis di waktu belum baligh dan diriwayatkannya pada waktu sudah baligh dan riwayat hadisnya bisa diterima. Hal ini memiliki relevansi dengan periwatan hadis yang dilakukan oleh seseorang yang di waktu menerima atau mendengar hadis ia belum masuk Islam dan menyampaikannya ketika sudah masuk Islam, maka hadisnya pun juga bisa diterima.
3. Metode al-Taḥammul al-Ḥadīth dan Sighat-Sighat al-Adā’
Metode al-Taḥammul al-Ḥadīth adalah tata cara penerimaan hadis dari seorang guru kepada muridnya, sedangkan sighat-sighat al-adā’ adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan ketika meriwayatkan atau menyampaikan hadis kepada muridnya sebagai sarana untuk menunjukkan cara pengambilan hadis yang diambil dari gurunya.
Metode penerimaan hadis ada 8, yaitu:
a. Al-samā’, yaitu suatu metode penyampaian langsung antara guru dengan murid. Guru membacakan hadis, bentuknya bisa membaca hafalan, membacakan kitab, tanya-jawab atau dikte. Dalam proses penyampaian hadis, metode inilah yang paling kuat. Ungkapan yang dipakai adalah: Sami’tu, ḥaddathanī,
b. Al-’ardhu atau al-qirā’ah, yaitu seorang murid membacakan hadis dihadapan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dibacakan murid. Istilah yang dipakai adalah: Akhbaranā, atau ḥaddathanā qirā’atan ‘alayh.
c. Al-ijāzah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis tanpa membacakan hadis satu per satu. Istilah yang dipakai adalah: Anba’anā, akhbaranā ijāzatan atau ḥaddathanā ijāzatan.
Mengenai pembagian ijazah dalam meriwayatkan hadis para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan dibagi menjadi delapan , ada juga yang membaginya menjadi sembilan , dan sebagainya. Namun di sini penulis hanya menyajikannya dalam lima kategori saja, yaitu;
1. Guru memberi izin kepada orang tertentu untuk riwayat yang tertentu seperti dia mengatakan; “Saya memberi ijazah kepadamu meriwayatkan Sahih al-Bukhari”. Kategori ini adalah bagian ijazah tanpa munawalah yang paling tinggi.
2. Guru memberi ijazah kepada orang tertentu untuk menerima riwayat yang tidak tertentu seperti dia mengatakan; “Saya memberi ijazah kepada anda untuk meriwayatkan hadis-hadis yang saya dengar”.
3. Memberi ijazah kepada orang yang tidak tertentu dengan riwayat yang tidak tertentu seperti saya memberi ijazah kepada orang-orang di zaman saya untuk meriwayatkan hadis-hadis yang saya dengar.
4. Memberi ijazah kepada orang yang tidak diketahui atau riwayat yang tidak diketahui seperti, “saya memberi ijazah kepada anda untuk meriwayatkan kitab sunan”, sedangkan dia meriwayatkan beberapa kitab sunan, atau “saya memberi ijazah kepada Muḥammad bin Khālid al-Dimashqiy, padahal banyak orang yang mempunyai nama ini.
5. Memberi ijazah kepada orang yang tidak ada, contohnya; “saya memberi ijazah kepada si fulan dan anak yang akan dilahirkan”.
Hukum untuk bagian pertama di atas adalah ṣaḥīḥ menurut pendapat mayoritas ulama dan dipakai secara berterusan serta harus meriwayatkan dengan cara ini dan beramal dengannya. Beberapa kumpulan ulama pula menganggap cara ini tidak tepat dan ini salah satu dari dua pendapat yang dinukilkan dari Imam al-Shāfi’iy.
Sementara bagian-bagian ijazah yang lain, khilaf tentang keharusan pemakaiannya. Bagaimanapun, penerimaan dan periwayatan hadis dengan cara ini (ijazah) merupakan penerimaan lemah dan belum pantas untuk langsung menerimanya.
Lafadz-lafadz Penyampaian, yaitu: 1) Yang paling baik dengan mengatakan: أجاز لي فلان (si fulan telah mengijazahkan kepada saya); 2) Diharuskan dengan lafadz sama’ yang mempunyai ketenntuan seperti حدّثنا إجازة (dia telah menceritakan kepada kami secara ijazah) atau أخبرنا إجازة (dia telah mengabarkan kepada kami secara ijazah); 3) Istilah ulama muta`akhkhirīn: Lafadz أنبأنا(menyampaikan kepada kami) dan ini dipilih oleh pengarang kitab al-Wijādah.
d. Al-Munāwalah, yaitu seseorang memberitahukan satu atau beberapa buah hadis atau kitab hadis kepada orang lain. Para ulama membagi al-munawalah dalam dua bentuk; [1] al-munawalah yang disertai ijazah seperti seseorang mengatakan, “ini kumpulan riwayat hadisku yang aku dengar dari si Fulan, maka riwayatkanlah dariku,” dan ulama hadis menghukuminya boleh. Ungkapan al-ada’ yang dipergunakan adalah nawalanī, nawalanī ijāzatan, atau akhbaranā munāwalatan wa ijāzatan. [2] Kedua yang tanpa adanya ijazah seperti perkataan, “ini riwayat hadisku dari si Fulan,” dan dihukumi tidak boleh untuk meriwayatkannya pada orang lain.
e. Al-Mukātabah, yaitu seseorang memberi catatan hadis kepada orang lain. Ulama hadis membaginya dua macam; [1] al-mukatabah yang disertai ijazah seperti perkataan, “aku ijazahkan hadis yang aku tulis ini”. Ini dihukumi ṣaḥīḥ dan sighat al-adā’ yang dipergunakan adalah kataba ilayya fulān, akhbaranī fulān kitābatan atau ḥaddathanī fulān kitābatan.[2] al-munāwalah tanpa ada ijazah seperti guru menulis surat yang berisi hadis Nabi saw tapi tanpa ada ijazah untuk meriwayatkannya dari penulisnya. Ulama hadis berbeda pendapat mengenai hukum bagian yang kedua ini, namun kebanyakan memperbolehkan meriwayatkannya.
f. I’lām al-shaykh, yaitu guru menginformasikan kepada muridnya, bahwa hadis ini atau kitab hadis ini adalah hasil periwayatannya dari seseorang tanpa menyebut namanya dan tanpa ada izin untuk meriwayatkannya. Hukumnya kontroversial, tapi kebanyakan ulama hadis tidak memperbolehkan meriwayatkannya. Sighat yang dipakai seperti “a’lamanī shaykhīy bi kadhā”.
g. Al-waṣiyyah, yaitu guru mewasiatkan buku catatan hadis kepada muridnya sebelum meninggal dunia. Hukumnya boleh karena guru mewasiatkan kitab miliknya bukan riwayatnya, namun juga ada yang tidak membolehkannya. Sighat yang digunakan seperti “awṣā ilayya fulān bi kadhā atau akhbaranī fulān bi kadhā waṣiyyatan”.
h. Al-wijādah, yaitu seseorang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadis tersebut. Sighat yang digunakan seperti “wajadtu bi khatti fulānin kadzā”.
Banyak pendapat berkenaan dengan metode al-wijādah. Ulama dari Mālikiyyah menolak metode ini, sedangkan ulama Shāfi’iyyah menerimanya.
Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa metode al-wijādah tidak bisa diterima riwayatnya, karena metode ini masuk kategori maqthū’, terputus jalan periwayatannya karena tidak adanya pertemuan langsung antara guru dengan murid. Syekh al-Albany dalam kitabnya “Al-Ḍa’īfah”, cenderung memasukkan pada kumpulan hadis ḍa’īf-nya.
Lain halnya dengan golongan ulama Shāfi’iyyah, mereka membolehkan mengamalkan hadis dengan cara periwayatan al-wijādah. Pendapat ini didukung oleh Imam Nawawi dan Ibnu Ṣālaḥ. Ibnu Ṣālaḥ mengatakan,
“Inilah yang mesti dilakukan pada masa-masa akhir ini. Karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan hadis maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadis yang dinukil (dari Nabi saw) karena tidak mungkin terpenuhi syarat periwayatan padanya.”
Tentu saja pembolehan ini ada batasannya. Sebagaimana diisyaratkan oleh al-Budaihi, bahwa orang yang menulis kitab kumpulan hadis yang ditemukan itu adalah orang yang terpercaya dan sanad hadisnya ṣaḥīḥ, sehingga jika sudah terpenuhi semua syarat tersebut maka wajib mengamalkannya.
Al-Sayūṭiy dan al-Baiquni kemudian dijadikan argumen oleh al-‘Imād bin Kathīr, menyatakan bahwa para ulama yang memperbolehkan mengamalkan hadis dengan metode al-wijādah ini menyandarkan pada sabda Rasulullah saw:
أي الخلق أعجب إليكم إيماناً؟ قالوا: الملائكة، قال وكيف لا يؤمنون وهم عند ربهم؟ وذكروا الأنبياء، فقال: وكيف لا يؤمنون والوحي ينزل عليهم؟ قالوا: فنحن، قال: وكيف لا تؤمنون وأنا بين أظهركم؟ قالوا: فمن يا رسول الله؟ قال: قوم يأتون من بعدكم، يجدون صحفاً يؤمنون بما فيها ” ، (رواه احمد و الدارمى والحاكم من حديث ابي جمعة الانصارى)
“Makhluk mana yang menurut kalian (para sahabat) paling menakjubkan keimanannya?” Mereka berkata: “Para malaikat.” Nabi saw bersabda: “Bagaimana mereka tidak beriman, sedang mereka di sisi Tuhan mereka.” Mereka (para sahabat) menyebut: “Para nabi.”Nabi saw menjawab: “Bagaimana mereka tidak beriman, sedang wahyu turun kepada mereka.” Mereka mengatakan: “Kalau begitu kami.” Beliau menjawab: “Bagaimana kalian tidak beriman, sedang aku ada di tengah-tengah kalian.” Mereka mengatakan: “Lalu siapakah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal, al-Darimi dan al-Hakim dari Abi Juma’ah al-Anshari).”
PENGERTIAN tentang HADITS MUKHTALIF
1.    Pengertian Ilmu Mukhtalif Hadis
Sebelum memaparkan pengertian dari ilmu mukhtalif hadis, perlu diketahui bahwa kata mukhtalif merupakan bentuk kalimat isim fa’il dari asal kata ikhtalafa-yakhtalifu-ikhtilaf, yang berarti berselisih atau bertentangan. Kemudian, yang dikatakan mukhtalif hadis secara bahasa adalah hadis-hadis yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain.  Sedangkan secara istilah, Dr. Mahmud al-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa mukhtalif hadis adalah :
هُوَ الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعَارِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ أِمْكَانٍ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا.
“Hadis makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.”
Para ulama ahli hadis mendefinisikan bahwa hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Namun, tidak selamanya hadis-hadis yang tampak bertentangan itu memang kontradiktif, sehingga perlu diselesaikan dengan metode-metode yang ditempuh oleh para ulama hadis, seperti metode al jam’u wa al-taufiq. Mukhtalif hadis bisa juga dikatakan dengan ta’wil al-hadis, karena hadis mukhtalif diartikan dengan hadis-hadis yang sulit dipahami karena ada kata-kata janggal atau kata-kata asing (gharib).
Perlu diingat bahwa hadis-hadis yang dianggap bertentangan itu adalah hadis yang secara sanad dan matan shahih. Maka dari itu, hadis yang benar-benar lemah sanadnya tidak perlu dikompromikan dengan hadis yang jelas shahih. Hadis yang tampak mukhtalif tidak hanya terjadi antara hadis dengan hadis, bisa juga bertentangan dengan al-Qur’an, rasio, maupun ilmu pengetahuan dan sains modern. Akan tetapi, pertentangan hadis dengan itu semua bisa jadi hanya pada penginterpretasian atau pemahaman hadis tersebut.
Dalam buku Ushul Al-Hadis karya DR. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ilmu mukhtalif hadis didefinisikan sebagai berikut :
الْعِلْمُ الّذِيْ يَبْحَثُ فِي الأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزيْلُ تَعَا رُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِيْ الأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْتَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا.
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.  Dari definisi pengertian hadis mukhtalif sebelumnya, dapat disimpulkan juga bahwa kriteria ilmu mukhtalif hadis adalah : hadis kontradiktif secara lahiriyah, hadis yang kontradiktif tersebut terjadi pada hadis yang shahih dan hasan, dan ada metode penyelesaiannya.
1.    Obyek Kajian Ilmu Mukhtalif Hadis
Dalam ilmu ini, sudah barang tentu yang dikaji adalah hadis-hadis nabi yang tampak saling bertentangan, baik dengan hadis, al-Qur’an, rasio, ataupun ilmu pengetahuan dan sains modern. Hadis tersebut dipandang dari berbagai metode yang ditempuh oleh para ulama, dari segi memadukan kedua hadis, mengkompromikannya, dan memahami perbedaan faktor yang melatarbelakanginya.
1.    Urgensi Ilmu Mukhtalif Hadis
Membaca sepintas perkataan dari as-sakhawiy menjadikan ilmu mukhtalif ini sebagai ilmu yang terpenting disamping ilmu hadis yang lain. Mengapa demikian?, karena jika seseorang yang membaca atau memahami hadis tanpa adanya bantuan ilmu ini, seseorang dapat mengatakan suatu hadis yang shahih menjadi dha’if dan sebaliknya, jika menemukan hadis yang tampaknya bertentangan. Berikut adalah perkataan as-sakhawiy : ”Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama’ di berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus sebagai imam yang memadukan antara hadis dan fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam.”
Tidak cukup bagi seseorang jika hanya menghafal suatu hadis, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai kata-kata penting tanpa adanya pemahaman dan mengetahui kandungan hukumnya. Oleh sebab itu,  mempelajari ilmu mukhtalif hadis dituntut untuk memahami hadis secara mendalam, pengetahuan tentang ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, dan hal lain yang mendukung jalannya pembelajaran ilmu ini. Ilmu ini lebih spesifik bertujuan untuk metode mencari klarifikasi dari hadis-hadis yang tampak saling bertentangan dengan dibantu ilmu asbab al-wurud al-hadis dan ilmu tarikh al-mutun.
1.    Metode-metode penyelesaian
Setiap perbedaan pastilah membawa hikmah. Begitupun dalam hal hadis Nabi Muhammad saw, dengan adanya anggapan bahwa hadis-hadis Nabi saling bertentangan sehingga dikatakan perkataan Nabi tersebut tidak konsisten, maka para ulama hadis termotivasi untuk merumuskan teori-teori yang dapat menyelesaikan anggapan keliru tersebut. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam metode atau teori tersebut antara lain,:
1.    Metode al-Jam’u wa al-Taufiq
Metode ini yaitu dilakukan dengan cara menggabungkan dan mengkompromikan dua hadis yang tampak saling bertentangan, dan kedua hadis tersebut harus sama-sama shahih. Para ulama berpendapat metode ini lebih baik daripada dengan menggunakan metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis yang tampak bertentangan). Dalam salah satu kaedah fiqh dikatakan bahwa “i’mal al-qaul khairun min ihmalihi (mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan).”
Contoh hadis yang penyelesaiannya dengan metode ini adalah hadis tentang cara wudlu Rasulullah saw. Berikut contoh hadis yang pertama :
حدثنا الربيع, قال : أخبرنا الشافعي, قال : أخبرنا عبد العزيز بن محمد, عن زيد بن أسلم, عن عطاء بن يسار, عن ابن عباس, أن رسول الله ص.م وضأ وجهه ويديه, ومسح برأسه مرة مرة.
Artinya:
Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam al-Syafi’i memberi kabar kepada kami, dia berkata: Abdul Aziz Ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami, dari Zaid Ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw berwudlu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali. (HR.al-Syafi’i).
Sedangkan dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw berwudlu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali. Seperti hadis berikut :
اخبرنا الشافعي, قال : أخبرنا سفيان بن عيينة, عن هشام بن عروة, عن ابيه, عن حمران مولى عثمان بن عفان, ان النبي ص.م توضأ ثللاثا ثلاثا.
Kedua hadis tadi secara lahiriyah memang seperti bertentangan, akan tetapi pada hakekatnya tidak. Menurut pendapat Imam Syafi’i, berwudlu dengan membasuh muka, kaki, dan mengusap kepala sudah mencukupi dengan satu kali saja, akan tetapi dengan mengulang sebanyak tiga kali lebih sempurna. Jadi, kedua hadis tersebut dapat diamalkan sesuai dengan konteks. Jika keadaan kita (terutama jumlah air) memang memungkinkan kita untuk mengulangi basuhan anggota wudlu sebanyak tiga kali, maka lebih utama mengulang basuhan sebanyak tiga kali. Kalaupun keadaan sudah terpenuhi, tetapi kita memilih mengulang satu kali, itu sudah mencukupi.
1.    Metode Tarjih
Setelah metode pertama tidak memungkinkan untuk memutuskan hadis yang bertentangan, maka diambillah metode yang ke dua ini, yaitu dengan memilih mana yang lebih unggul diantara salah satu dari kedua hadis yang bertentangan. Walaupun sebenarnya kedua hadis tersebut sama-sama shahih, akan tetapi harus dipilih hadis yang lebih berkualitas, mungkin itu dilihat dari jalur sanadnya.
Ada salah satu hadis yang benar-benar bertentangan dengan al-Qur’an, yaitu hadis tentang nasib bayi yang dikubur hidup-hidup akan masuk neraka.
الوائدة والموؤودة في النار
Artinya: perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR. Abu Dawud).
Melihat konteks turunnya hadis tersebut yaitu ketika Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya untuk menghadap Rasulullah saw. Dan bertanya kepada Rasulullah saw mengenai bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Rasulullah saw menjawab dengan tegas bahwa nasib bayi perempuan tersebut akan masuk neraka, kecuali jika perempuan yang mengubur bayi itu kemudian masuk islam, maka Allah swt akan memaafkannya. Hadis tersebut dinilai sebagai hadis hasan dari segi sanad menurut imam Ibn Katsir, dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i.
Akan tetapi jika diamati lebih telisik lagi, matan hadis tersebut bertentangan dengan ayat al-Qur’an surah at-takwir :8-9
وَأِذَ الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَىِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.
Artinya : Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh. (QS.at-takwir:8-9).
Secara logis, orang yang mengubur bayi memang sangat berdosa dan ditempatkan di neraka, akan tetapi bagaimana dengan bayi yang dikubur, apakah harus ikut mengemban dosa dari orang yang dikubur sehingga masuk neraka, padahal setiap bayi yang lahir adalah dalam keadaan suci tak berdosa. Maka jelaslah bahwa hadis tersebut harus kita tolak, karena telah bertentangan dengan al-Qur’an dan secara logis juga tidak mendukung.
Ada riwayat lain yang menjelaskan tentang kasus tersebut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Rasulullah saw ditanya oleh anak perempuan Mu’awiyyah al-Shamiriyyah tentang orang-orang yang akan masuk surga. Kemudian Rasulullah saw menjawab: Nabi saw akan masuk surga, orang yang mati syahid akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR.Ahmad).
1.    Metode Nasikh-Mansukh
Metode ini dilakukan apabila kedua metode sebelumnya tidak memungkinkan adanya penyelesaian antara hadis yang bertentangan. Sebelum melakukan metode ini, seseorang harus tahu betul akan tarikh al-mutun hadis yang tampak bertentangan, sehingga dapat diketahui mana hadis yang datang lebih awal dan mana yang akhir. Dengan begitu, sudah pasti hadis yang datang akhir menghapus hadis sebelumnya.
Proses nasakh-mansukh dalam hadis hanya terjadi ketika Nabi Muhammad saw masih hidup. Sebab pada masa Nabi masih hidup, proses penetapan atau pembentukan syari’at sedang berlangsung pada masa itu, sehingga ada hadis yang temanya sama akan tetapi hukumnya berbeda, dan mungkin hadis yang terakhir datang setelah turunnya ayat al-Qur’an yang terkait dengan masalah di masyarakat. Para ulama hadis hanya memberikan kemudahan kepada peneliti atau orang yang belajar studi hadis dengan menamakan hal tersebut dengan nasakh-mansukh hadis.
Contoh hadis dengan metode penyelesaian ini yaitu hadis tentang wajib dan tidak wajibnya seseorang untuk mandi jinabah karena melakukan senggama akan tetapi tidak mengeluarkan sperma. Hadis pertama berbunyi :
عن أبي سعيد الخدريّ عن النبي ص.م أنه قال : أِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ. (رواه مسلم وأبو داود والترمذي وغيرهم واللفظ لمسلم)
Artinya: dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah saw bahwa beliau telah bersabda, “Sesungguhnya air (yakni mandi janabah menjadi wajib karena) dari air (yakni keluarnya sperma tatkala bersengama)”. (HR. Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, dan lain-lain dengan lafal riwayat Muslim).
Berbeda dengan hadis yang kedua yaitu,:
عن عائشة قالت ……. قال رسول الله ص.م : أِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ. (رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ لمسلم).
Artinya: dari Aisyah, dia berkata:… Nabi saw telah bersabda,” Apabila (seseorang) telah duduk di atas empat anggota tubuh (isterinya) dan alat kelamin telah menyentuh (masuk) ke alat kelamin, maka sungguh telah wajib mandi janabah.” (HR.al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain dengan lafal riwayat Muslim).
Hadis yang pertama menyatakan bahwa mandi jinabah harus dilakukan oleh seseorang ketika telah melakukan senggama dan mengeluarkan sperma. Artinya jika tidak sampai mengeluarkan sperma, maka tidak wajiblah untuk mandi jinabah. Sedangkan keterangan hadis kedua, mandi jinabah harus dilakukan oleh seseorang ketika telah melakukan senggama, baik itu sampai orgasme maupun tidak. Dilihat secara tekstual kedua hadis di atas tampak saling bertentangan.
Menurut Imam Syafi’i, kata junub dalam al-Qur’an, surah an-nisa’ jika dilihat dari makna bahasa arabnya tidak membedakan antara senggama yang sampai orgasme maupun tidak. Jadi, dapat dikatakan bahwa hadis yang pertama telah dinasakh oleh hadis yang kedua setelah turunnya ayat al-Qur’an. Sehingga hadis yang dipakai adalah hadis yang kedua. Contoh lain yaitu hadis tentang nikah mut’ah.
1.    Metode Tawaqquf
Tawaqquf secara bahasa berarti mendiamkan atau menghentikan. Maksudnya adalah kita tidak mengamalkan kedua hadis yang tampak bertentangan sampai ditemukan adanya keterangan yang rasional hadis mana yang dapat diamalkan. Akan tetapi metode ini kurang efektif, karena dengan mendiamkan hadis-hadis yang kontradiktif tidak akan menyelesaikan masalah.
Tawaqquf tidak bisa dilakukan lagi jika telah datang adanya keterangan melalui penelitian ilmu pengetahuan dan sains atau yang lain. Contoh dari metode ini adalah hadis mengenai lalat yang masuk dalam minuman. Nabi memerintahkan agar lalat yang masuk ke dalam minuman, supaya sekalian ditenggelamkan, karena pada sayap kanan lalat terdapat penawar penyakit yang dibawa pada sayap lalat bagian kiri. Berikut adalah bunyi hadis tersebut,:
حدّثنا خالد بن مخلد حدّثنا سليمان بن بلال قال حدّثني عتبة بن مسلم قال أخبرني عبيد بن حنين قال سمعت أبا هريرة رضي الله عنه يقول قال النّبيّ ص.م أِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَأِنَّ فِيْ أِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً (صحيح البخاري ).
Secara nalar dan teori pengetahuan kesehatan, hadis tersebut agak bertentangan karena kurang valid. Akan tetapi, sekarang telah ditemukan penelitian yang justru menguatkan dan mendukung hadis tersebut baik dari segi sanad maupun hadis. Penelitian tersebut dilakukan oleh sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Arab Saudi dengan membuat minuman dari campuran air, madu dan juice dan dimasukkan sejumlah lalat dalam dua bejana. Ternyata hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa lalat yang kedua sayapnya ditenggelamkan tidak terdapat kuman atau mikroba dibanding dengan lalat yang hanya salah satu syapnya yang tenggelam.
1.    Tokoh-Tokoh Kajian Ilmu Mukhtalif al-Hadis dan Karyanya
Berikut adalah para tokoh kajian ilmu mukhtalif al-hadis beserta karya populernya, antara lain:
1)   . Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204H) dengan karya terbesarnya Ikhtilaf al-Hadis.
2)   . Abdullah Ibnu Qutaibah al-Dainuri (213-276H) dengan karyanya Ta’wil Mukhtalif al-Hadis.
3)   . Imam Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Thahawi (239-321H) karyanya “Musykil al-Atsar”.
4)   . Abu Bakar Muhammad Ibn Hasan al-Anshari (w.406H) karyanya Musykil al-“Hadis wa Bayanuh”.
Serta karya-karya lain yang berkembang pada masa berikutnya meskipun tidak spesifik menjelaskan tentang hadis mukhtalif.
KESIMPULAN
Dari sedikit penjelasan tadi, Kami mencoba untuk menyimpulkan beberapa poin penting, diantaranya yaitu,:
•    Hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang secara lahiriyah atau konteks tampak bertentangan, baik dengan hadis lain, al-Qur’an, rasio, maupun ilmu pengetahuan dan sains modern. Selain itu bisa juga hadis yang tidak bertentangan akan tetapi terdapat kata-kata janggal atau kata asing (gharib) sehingga suatu hadis sulit untuk dipahami. Sehingga diperlukan adanya penta’wilan hadis.
•    Kriteria ilmu mukhtalif hadis meliputi,: hadis kontradiktif secara lahiriyah atau tekstual, hadis yang kontradiktif tersebut terjadi pada hadis yang shahih dan hasan, dan ada metode penyelesaiannya.
•    Hadis tidak bisa dipahami secara tekstual saja, tetapi harus melihat kontekstualnya dengan dibantu ilmu-ilmu lain seperti asbab al-wurud hadis, tarikh al-mutun, dan ilmu lain yang dapat mendukung penyelesaian terhadap hadis yang tampak kontradiktif.
•    Sedikitnya ada 4 metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menyelesaikan hadis yang kontradiktif, meliputi: metode al-jam’u wa al-taufiq, metode tarjih, metode nasikh-mansukh, dan metode tawaqquf.

0 komentar:

cari artikel lain ?

Arsip Blog

"Semoga betah berada di blog yang sangat tidak sempurna ini ya teman .. dan terima kasih karena telah menyempatkan waktunya untuk berkunjung di blog ini .. "