Kawin
Kontrak Menyimpang dari Ajaran Islam
"Kawin kontrak itu hubungan pernikahan yang disepakati berlangsung dalam
batas waktu tertentu. Kalau konteksnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan biologis
dan berakhir dalam waktu yang telah disepakati, maka hal ini tidak dibolehkan
dalam ajaran Islam," kata Ustad S. Mudzakir Assagaf kepada ANTARA di
Ambon, Selasa.
Menurutnya, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun melalui
pernikahan substansinya bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis semata, melainkan
juga untuk membangun struktur sosial yang baik, melahirkan generasi penerus
yang berakhlak dan berkualitas serta hubungan suami istri yang membawa
ketenangan.
"Intinya, ada konteks yang lebih besar daripada sekedar perkawinan untuk
memuaskan kebutuhan biologis, sehingga dalam konteks ini kawin kontrak dianggap
sebagai suatu penyimpangan terhadap ajaran Islam," katanya.
Secara pribadi ia menilai seharusnya perilaku seperti itu ditinggalkan, karena
kalau tetap dilakoni maka beda kawin kontrak dengan berzina sangat tipis dan
tidak ada subtansi apa-apa selain pemenuhan kebutuhan biologis semata, kendati
kawin kontrak dilegitimasi dengan proses tertentu sehingga dianggap legal,
katanya.
Mudzakir Assagaf berharap pemerintah membuat regulasi yang bisa meminimalisir
perilaku-perilaku tersebut sehingga tidak mengganggu tatanan kehidupan sosial
budaya yang lebih baik di Indonesia.
"Harus ada sebuah proses sistemis untuk membina moral pelaku kawin
kontrak. Kalau perlu dibuatkan aturan atau perda yang dapat meminimalisir
munculnya perilaku menyimpang seperti itu," katanya.(*)
KAWIN KONTRAK : TRADISI KAUM SYI’AH
Dalam
urusan nikah mut’ah Syi’ah memiliki banyak keburukan, kekejian, hal-hal yang
menjijikkan dan kebodohan terhadap Islam. Mereka mengangkat nilai setiap
keburukan dan meninggikan setiap yang kotor. Mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah (berupa zina) atas nama agama dan dusta terhadap para Imam.
Mereka membolehkan semua yang mereka mau, mereka membiarkan nafsu tenggelam
dalam kelezatan yang menipu dan kemungkaran-kemungkaran. Mut’ah adalah
sebaik-baik saksi dan bukti, mereka telah menghiasi mut’ah dengan segala
kesucian, keagungan dan keanggunan, hingga mereka menjadikan balasan pelakunya
adalah surga -Naudzubillah-, mereka memperbanyak keutamaan-keutamaan mut’ah dan
keistimewaannya, seraya menyesatkan -sebagaimana lazimnya- orang-orang yang
mereka jadikan sebagai tawanan bagi ucapan-ucapan mereka yang dusta. Di
antaranya ialah:
Al-Kasyani
dalam tafsirnya, berbohong atas Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mereka
mengatakan bahwa beliau bersabda, Telah datang kepadaku Jibril darl sisi Tuhanku,
membawa sebuah hadiah. Kepadaku hadiah itu adalah menikmati wanita-wanita
mukminah (dengan kawin kontrak). Allah belum pernah memberikan hadiah kepada
para nabipun sebelumku, Ketahuilah mut’ah adalah keistimewaan yang dikhususkan
oleh Allah untukku, karena keutamaanku melebihi semua para nabi terdahulu.
Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dalam umurnya, la menjadi ahli surga. Jika
laki-laki dan wanita yang melakukan mut’ah berter di suatu tempat, maka satu
malaikat turun kepadanya untuk menjaga hingga mereka berpisah. Apabila mereka
bercengkerama maka obrolan mereka adalah berdzikir dan tasbih. Apabila yang
satu memegang tangan pasangannya maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan
bercucuran keluar dari jemari keduanya. Apabila yang satu mencium yang lain
maka ditulis pahala mereka setiap ciuman seperti pahala haji dan umrah. Dan
ditulis dalam jima’ (persetubuhan) mereka, setiap syahwat dan kelezatan satu
kebajikan bagaikan gunung-gunung yang menjulang ke langit. Jika mereka berdua
asyik dengan mandi dan air berjatuhan, maka Allah menciptakan dengan setiap
tetesan itu satu malaikat yang bertasbih dan menyucikan Allah, sedang pahala
tasbih dan taqdisnya ditulis untuk keduanya hingga hari Kiamat.” (Tafsir
Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani)
Mereka
juga berdusta atas nama Ja’far Ash-Shadiq, alim yang menjadi lautan ilmu ini!
dikatakan oleh mereka telah bersabda: “Mut’ah itu adalah agamaku dan agama
bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang
mengingkarinya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama
kami. Dan anak dari mut’ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan
yang mengingkari mut’ah adalah kafir murtad.” (Tafsir
Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)
Mereka
juga berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, mereka
mengatakan bahwa beliau bersabda: “’Barangsiapa melakukan mut’ah sekali
dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut’ah dua kali dimerdekakan
dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut’ah tiga kali dimerdekakan
dirinya dari neraka.”
Mereka
menambah tingkat kejahatan dn kesesatan merea dengan meriwayatkan atas nama
Rasulullah Shallallhu‘alihi wasallam: “Barangsiapa melakukan mut’ah dengan seorang
wanita Mukminah, maka seoloh-olah dia telah berziarah ke Ka’bah (berhaji
sebanyak 70 kali).(‘Ujalah Hasanah Tarjamah Risalah Al Mut’ah
oleh Al-Majlisi Hal.16).
Mut’ah,
Rukun, Syarat dan Hukumnya
Fathullah
Al-Kasyani menukil di dalam tafsirnya sebagai berikut, “Supaya diketahui bahwa
rukun akad mut’ah itu ada lima:
Suami, istri, mahar, pembatasan waktu (Taukit) dan shighat ijab qabul.” (Tafsir
Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.357)
Dia
menjelaskan, “Bilangan pasangan mut’ah itu tidak terbatas,
dan pasangan laki-laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat tinggal, dan
sandang serta tidak saling mewarisi antara suami-istri dan dua pasangan mut’ah
ini. Semua ini hanya ada dalam akad nikah yang langgeng,” (Tafsir
Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.352)
Syarat-syarat
Mut’ah
1. Perkawinan
ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang
(mut’ah) tanpa ada para saksi!
2. Laki-laki
terbebas dari beban nafkah!
3. Boleh
bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu,
sekalipun dengan seribu wanita!
4. Istri
atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!
5. Tidak
disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!
6. Lamanya
kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu!
7.
Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama
dengan wanita sewaan atau budak!
Abu
Ja’far Ath-Thusi menukil bahwa Abu Abdillah Alaihis-Salam (Imam mereka yang di
anggap suci) ditanya tentang mut’ah apakah hanya dengan empat wanita?
Dia
menjawab, “Tidak, juga tidak hanya tujuh puluh.”
Sebagaimana
dia juga pernah ditanya apakah hanya dengan empat wanita?
Dia
menjawab, “Kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karena
mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya
wanita sewaan.”(At-Tahdzif oleh Abu Ja’far Aht-Thusi, Juz
III/188)
Mereka
menisbatkan kepada imam keenam. yang ma’shum dia bersabda, “Tidak
mengapa mengawini gadis jika dia rela tanpa ijin bapaknya.” (At-Tahdzif
Al-Ahkam juz VII/256)
Mereka
menisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq, dia ditanya, “Apa yang harus, saya katakan jika saya telah
berduaan dengannya?” Dia berkata, engkau cukup mengatakan ,aku
mengawinimu secara mut’ah (untuk bersenang-senang saja) berdasarkan kitab Allah
dan sunnah Rasul-Nya, tidak ada yang mewarisi dan tidak ada yang diwarisi,
selama sekian! hari.Jika kamu mau, sekian tahun, Dan kamu sebutkan upahnya,
sesuatu yang kalian sepakati sedikit atau banyak.(Al-Furu’
Min Al Kafi Juz V/455)
Demikianlah
kawin mut’ah dalam agama Syi’ah yang dengannya mereka menipu orang-orang bodoh
dari kalangan orang-orang yang awam, seraya menyihir mata mereka dengan
berbagai macam atraksi sulap dan sihir serta, mengada-ada ucapan dusta, atas
nama Allah dan Rasul-Nya.
Bantahan
terhadap Kebolehan Mut’ah
Sesungguhnya
nikah mut’ah pernah dibolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan dan darurat
waktu itu kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengharamkannya untuk
selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau malah mengharamkan dua kali, pertama
pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan yang kedua pada Fathu Makkah, tahun 8
H.
Mereka
[Syi’ah sendiri] meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah mengharamkan pada Perang Khaibar daging himar jinak dan nikah mut’ah.”
(At-Tahdzif
Juz II/186) Riwayat inipun terdapat dalam sahih Bukhari. Maka
semakin jelas tentang agama mereka yang dibangun atas dasar rekayasa, ucapan
mereka bertentangan satu sama lain. Maka kami membantah kalian wahai Syi’ah !!, dengan
kitab-kitab kalian sendiri.
Ini
adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyah (berbohong).
Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Syi’ah tidak boleh melakukan taqiyah
dalam mut’ah, la taqiyyata fi al-mut’ah (tidak ada taqiyah dalam mut’ah).
Ali,
Umar dan Ibnu Abbas Berlepas Diri
Kemudian,
Umar tidak pernah mengatakan, “Mut’ah halal pada zaman Nabi dan saya
melarangnya!” Tetapi mut’ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan
menegakkan hukum keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang
melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal, ya,
akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Di antara yang menguatkan
lagi adalah pelarangan ‘Ali ketika menjadi khalifah.
Syi’ah
tidak memiliki bukti dari Salaf Shalih kecuali dari Ibnu Abbas Radhiallahu
‘anhu, akan tetapi Ibnu abbas sendiri telah rujuk dan mencabut kembali
kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika di mengetahui larangan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia (Ibnu Abbas) telah berkata :
“Sesungguhnya hal ini perlu saya jelaskan agar sebagian Syi’ah Rafidhoh tidak
berhasil mengelabui sebagian kaum Muslimin.” (Sunan Al-Baihaqi 318 100 ;
muhammad Al-Ahdal, hal. 251-252)
Sebagaimana
kitab Syi’ah sendiri menyebutkan keharamannya, dan Imam Syi’ah ke-enam [yang
diangap suci dari kesalahan] telah berkata kepada sebagian sahabatnya : “Telah
aku haramkan mut’ah atas kalian berdua” (Al-Furu’
min Al-Kafi 2 48).
Adapun
dalil mereka dengan sebagian hadits-hadits yang ada pada kitab Shahih
Ahlussunnah maka hadits-hadits tersebut telah dinasakh [dihapus hukumnya]. Hal ini
menjadi jelas dari hadits-hadits yang datang mengharamkan setelahnya. Di antara
yang menunjukkan mut’ah bukan nikah adalah mereka [syi’ah] memandang bahwa
mut’ah boleh dengan berapa saja sekalipun seribu wanita. Ini adalah menyalahi
Syari’at yang hanya membolehkan [paling banyak] empat wanita.
Syaikh
Mamduh Farhan Al-Buhairi “Asy-Syi’ah minhum ‘alaihim”
Poligami
adalah uangkapan bagi seorang lelaki yang beristri
lebih dari satu, dan ini dalam ajaran Islam tidak dilarang meski untuk
melakukannya harus memenuhi syarat dan kriteria tertentu. Dalam perkembangannya
poligami terkadang hanya dijadikan alasan oleh sebagian orang sebagai
legalisasi, namun tidak sedikit penganut poligami yang Rumah tangganya bahagia
karena di dasari dengan ajaran Agama yang diyakini kebenarannya.Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara syah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang di wakili Departemen Agama.
Kawin Kontrak adalah sebuah perkawinan yang di batasi waktu sehingga akan berakhir sesuai ketentuan waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri. Kawin kontrak yang dalam ajaran Islam di kenal dengan Istilah Nikah Mut’ ah yang dalam perkembangan syari’at Islam nikah model ini telah dilarang.
Ketiga type perkawinan tersebut kini telah digodog rancangan undang-undangnya oleh Pemerintah yang di wakili oleh Departemen Agama dengan sebuah Rancangan Undang-undang , yang didalamnya diatur bagi orang yang melakukannya akan di kenai sangsi hukum. Akankah RUU tersebut efektif, mungkinkah ini akan menjadi sebuah solusi atau hanya akan menjadi masalah baru ? dalam kehidupan masyarakat kita, setujukah rekan-rekan semua dengan rancangan Undang-undang tersebut, sesuatu yang di halalkan oleh Tuhan mungkinkah dilarang oleh Manusia, wallahu Alam.
Berikut cuplikan beberapa pasal tentang draft RUU tersebut yang menjadi kontroversi :
Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Pasal 143, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Pasal 144, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum.
Selain mengatur tentang Perkawinan Siri, Mutah/Kontrak, RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (berbeda kewarganegaraan).
Kawin Kontrak Beda Zaman
Pada zaman Rosulullah Saw kawin kontrak (nikah
mut’ah) pernah diperbolehkan bagi para sahabat yang dikirim ke medan peperangan keluar kota Mekah dan Madinah. Pada waktu itu para
sahabat (prajurit-prajurit) sering mengeluhkan karena terlalu lama meninggalkan
istri sampai berbulan-bulan, praktis kebutuhan biologisnya (nafsu sex) tidak
pernah tersalurkan. Kondisi yang demikian dimungkinkan akan dapat mempengaruhi
semangat tempur para prajurit di medan
laga. Kemudian Nabi Saw dalam keadaan terpaksa mengizinkan mereka melakukan
nikah mut’ah/kawin kontrak untuk sementara waktu.
“ An Saburotal Juhani ‘annahu ghozzaa ma’an Nabiyyi sholallohu ‘alaihi wassalama fii fathi makkata fa-adzana lahum rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalama fii mut’atin nisaa.’
“Dari Saburoh Al Juhani, ia berperang dengan Nabi Saw dalam menyerang kota Mekah, maka Rosulullah Saw mengijinkan mereka melakukan nikah mut’ah”
Dalam tempo yang tidak lama setelah peperangan usai dan dapat menguasai kota Makkah ,maka Nabi Saw mencabut izin pelaksanaan nikah mut’ah dan ditetapkan menjadi haram hukumnya, berdasar sabda beliau ;
“Anna rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalama harromal mut’ata faqoola yaa ayyuhan naasu innii kuntu adzantu lakum fiil istimta’i alaa wa annalloha qod harromahaa ila yaumil qiyaamatu. Rowahu Ibnu Majah”
“Sesungguhnya Rosulullah Saw telah mengharamkan nikah mut’ah, Nabi Saw bersabda ; “ Hai manusia saya telah mengizinkan kamu sekalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah Allah SWT telah mengharomkan nikah mut’ah sampai qiamat “ HR Ibnu Majah .
Semenjak itu Rosululloh Saw memansuch/menghapus izin hukum yang membolehkan pelaksanaan kawin kontrak dan diganti dengan larangan (haram) melakukan nikah mut’ah bagi siapapun sampai hari kiamat. Tidak ada rusoch (keringanan) lagi bagi umat Muhammad SAW melakukan kawin kontrak dengan dalih apapun.
Seiring dengan perjalanan waktu setelah Rosulullah tiada masa kholfaurrosyidin telah berlalu, berganti masa zaman ulama’pewaris Nabi dan sahabatnya (Ulama’ Salaf) hingga sekarang (Ualama’ hkolaf) terjadilah beda pemahaman terhadap pelaksanaan kawin kontrak/nikah mut’ah. Salah satu dari sekian banyak pemahaman yang tak lazim yaitu dari golongan Syi’ah berkeyakinan bahwa nikah mut’ah atau yang disebut dengan istilah kawin kontrak masih diperbolehkan.
Pandangan aneh dan sarat kedustaan ini berdasarkan logika kitab-kitab Syi’ah yang menyesatkan. Berikut ini beberapa kutipan yang membolehkan kawin kontrak menerangkan antara lain ; Dari“Ja’far shodiq berkata: “ Barang siapa yang tidak mempercayai tentang Roj’ah (kebangkitan manusia dari kubur sebelum hari kiamat) dan tidak menghalalkan mut’ah maka bukan termasuk golongan kami.
Dari keterangan sumber tersebut diatas dapat kita simpulkan nikah mut’ah / kawin kontrak secara tegas hukumnya haram (dilarang ). Belakangan, jika ada anggapan nikah mut’ah masih dapat dianulir sebagai jalan terbaik untuk menikah sementara dengan gadis, janda, atau wanita pujaannya. Dengan alasan “ al dlororotu tubihul mahdluroh” melakukan nikah mut’ah karena darurat (ada ancaman bahaya yang lebih besar), maka melakukan nikah mut’ah akan lebih afdol dari pada melakukan perzinaan. Pembenaran seperti itu termasuk pelecehan terhadap sabda Nabi Saw. Mereka seakan-akan menjauhi perzinaan. Padahal mereka mendukung perzinaan dengan mengatasnamakan pernikahan ( kawin kontrak ).Wallohu a’lamu bishowab.
“ An Saburotal Juhani ‘annahu ghozzaa ma’an Nabiyyi sholallohu ‘alaihi wassalama fii fathi makkata fa-adzana lahum rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalama fii mut’atin nisaa.’
“Dari Saburoh Al Juhani, ia berperang dengan Nabi Saw dalam menyerang kota Mekah, maka Rosulullah Saw mengijinkan mereka melakukan nikah mut’ah”
Dalam tempo yang tidak lama setelah peperangan usai dan dapat menguasai kota Makkah ,maka Nabi Saw mencabut izin pelaksanaan nikah mut’ah dan ditetapkan menjadi haram hukumnya, berdasar sabda beliau ;
“Anna rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalama harromal mut’ata faqoola yaa ayyuhan naasu innii kuntu adzantu lakum fiil istimta’i alaa wa annalloha qod harromahaa ila yaumil qiyaamatu. Rowahu Ibnu Majah”
“Sesungguhnya Rosulullah Saw telah mengharamkan nikah mut’ah, Nabi Saw bersabda ; “ Hai manusia saya telah mengizinkan kamu sekalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah Allah SWT telah mengharomkan nikah mut’ah sampai qiamat “ HR Ibnu Majah .
Semenjak itu Rosululloh Saw memansuch/menghapus izin hukum yang membolehkan pelaksanaan kawin kontrak dan diganti dengan larangan (haram) melakukan nikah mut’ah bagi siapapun sampai hari kiamat. Tidak ada rusoch (keringanan) lagi bagi umat Muhammad SAW melakukan kawin kontrak dengan dalih apapun.
Seiring dengan perjalanan waktu setelah Rosulullah tiada masa kholfaurrosyidin telah berlalu, berganti masa zaman ulama’pewaris Nabi dan sahabatnya (Ulama’ Salaf) hingga sekarang (Ualama’ hkolaf) terjadilah beda pemahaman terhadap pelaksanaan kawin kontrak/nikah mut’ah. Salah satu dari sekian banyak pemahaman yang tak lazim yaitu dari golongan Syi’ah berkeyakinan bahwa nikah mut’ah atau yang disebut dengan istilah kawin kontrak masih diperbolehkan.
Pandangan aneh dan sarat kedustaan ini berdasarkan logika kitab-kitab Syi’ah yang menyesatkan. Berikut ini beberapa kutipan yang membolehkan kawin kontrak menerangkan antara lain ; Dari“Ja’far shodiq berkata: “ Barang siapa yang tidak mempercayai tentang Roj’ah (kebangkitan manusia dari kubur sebelum hari kiamat) dan tidak menghalalkan mut’ah maka bukan termasuk golongan kami.
Dari keterangan sumber tersebut diatas dapat kita simpulkan nikah mut’ah / kawin kontrak secara tegas hukumnya haram (dilarang ). Belakangan, jika ada anggapan nikah mut’ah masih dapat dianulir sebagai jalan terbaik untuk menikah sementara dengan gadis, janda, atau wanita pujaannya. Dengan alasan “ al dlororotu tubihul mahdluroh” melakukan nikah mut’ah karena darurat (ada ancaman bahaya yang lebih besar), maka melakukan nikah mut’ah akan lebih afdol dari pada melakukan perzinaan. Pembenaran seperti itu termasuk pelecehan terhadap sabda Nabi Saw. Mereka seakan-akan menjauhi perzinaan. Padahal mereka mendukung perzinaan dengan mengatasnamakan pernikahan ( kawin kontrak ).Wallohu a’lamu bishowab.
Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) (1/4)
(red. vbaitullah.or.id): Nikah mut’ah bukanlah istilah yang baru di dalam dunia Islam. Jenis nikah yang sering disebut dengan istilah kawin kontrak sempat menjadi kontoversi ketika diusulkan agar nikah jenis ini diatur dalam undang-undang yang sah. Mengapa demikian? Apa sebenarnya Nikah mut’ah itu? Bagaimana landasan hukumnya dalam Islam (Al-Qur’an dan Sunnah)?1 Pendahuluan
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar
dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman, yang artinaya :
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah" – (QS. adz Dzariyat:
49).
Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan kesinambungan
ciptaanNya, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi
masing-masing.
Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan
nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki
dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu
dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad.
Oleh karenanya, salah satu maqashid syari’ah (hikmah pensyari’atan),
yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah
dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup
sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam
juga mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan,
atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Di antara pernikahan yang
diharamkan oleh Islam, ialah seperti:
- Nikah
tahlil, yaitu seseorang menikah dengan seorang
wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar
suami pertama dapat rujuk dengannya. - Nikah
syighar, yaitu seseorang menikahkan putrinya
dengan seseorang, dengan syarat orang yang dinikahkan tersebut juga
menikahkan putrinya, dan tidak ada mahar atas keduanya. - Nikah muhrim, dan seterusnya.
Juga terdapat pernikahan yang diharamkan, yang dikenal dengan nikah
kontrak (kawin kontrak). Nikah yang biasa disebut nikah mut’ah ini
merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah
mut’ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi’ah
dengan mengatasnamakan agama.
Berikut ini penjelasan fiqih Islam tentang hukum nikah mut’ah.
2 Definisi Nikah Mut’ah
Yang dimaksud nikah mut’ah adalah seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu,
dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian
atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya
mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa
harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar
(upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau
kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan
tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak
saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra’ dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Jadi, rukun nikah mut’ah menurut Syiah Imamiah- ada empat:
- Shighat, seperti ucapan
: "aku nikahi engkau", atau
"aku mut’ahkan engkau". - Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
- Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
- Jangka waktu tertentu.
Ustadz, di lingkungan tempat tinggal ana ada kasus MBA , setelah keduanya dinikahkan dan sah sebagai suami isteri, keesokan harinya langsung diceraikan oleh suaminya. Ini hukumnya bagaimana ustadz? Jazakallah khairon katsir.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Aisyah Vakha
Jawaban
Assalamu `alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Masalah nikah dengan niat cerai sudah seringkali diperbincangkan ulama. Bentuknya adalah ketika seseorang menikahi wanita, dalam dirinya sudah ada niat untuk mentalaknya sesegera mungkin atau pada waktu tertentu.
Hukum menikah dengan niat talak ini oleh para ulama ditetapkan sebagai pernikahan yang diharamkan. Dan mereka menyebutkan bahwa pada hakikatnya pernikahan seperti ini adalah nikah mut’ah atau nikah sementara. Dan jumhur ulama semuanya sepakat bahwa nikah mut’ah dan sejenisnya itu haram hukumnya dan batil.
Al-Imam Malik mengatakan bahwa pasangan yang melakukan pernikahan mut’ah atau pernikahan sementara harus dihukum tapi bukan dengan hukum hudud. Mereka wajib dipisahkan dan bukan cerai. Karena cerai itu hanya untuk sebuah pernikahan, sedangkan dalam kasus mereka, pernikahan tidak pernah terjadi.
Adapun alasan yang dikemukakan antara lain:
1. Bahwa salah satu di antara syarat syahnya pernikahan adalah bersifat muabbadah, yaitu diniatkan untuk langgeng terus dan bukan untuk sementara saja. Kalau nantinya terjadi talak, maka sama sekali belum pernah terlintas dalam hati dan juga tidak pernah diniatkan.
2. Bahwa tujuan dari nikah dalam Islam sesungguhnya adalah untuk mendapatkan sakinah, mawaddah dan rahmah. Sebagaimana firman Allah SWT:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Sedangkan Al-Hanafiyah mengatakan bila seseorang menikahi wanita dengan niat bahwa bila nanti sudah melewati masa setahun akan diceraikan, bukanlah termasuk nikah mut’ah.
Sedangkan Al-Hanabilah mengatakan bahwa berniat untuk menceraikan ketika sejak awal menikah sudah membatalkan akad itu sendiri.
Yang menghalalkan nikah mut’ah ini umumnya adalah kalangan syi’ah Al-Imamiyah. Bahkan mereka sama sekali tidak mensyaratkan adanya wali dan saksi dalam pernikahan itu. Yang disyaratkan justru berapa harga maharnya dan berapa lama pernikahannya. Namun pada hakikatnya apa yang mereka lakukan tidak lebih dari zina atau kawin kontrak, karena tidak ada bedanya dengan pelacuran. Zina dan pelacuran sama sekali tidak bicara siapa wali dan saksi, tapi yang penting berapa tarifnya dan booking-nya berapa lama.
Oleh kalangan jumhur ulama dan seluruh umat Islam sepanjang masa, nikah kontrak atau nikah dengan niat talak diharamkan secara tegas.
Wallahu a`lam bish-shawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.
Kawin Kontrak Atau Nikah Mu’tah Dilarang Dalam Islam
Rasulullah
bersabda: “Wahai
manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah
mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut
sampai hari kiamat.” (Hadits Riwayat Muslim)
Jika
kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat
Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum
Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan
tersendiri di dalam kehidupan masyarakat mereka. Bagaimana tidak, perzinaan
tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu “nikah mut’ah”. Tentu saja
mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang
benar-benar diharamkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah
Rafidhah.
Definisi
Nikah Mut’ah
Nikah
mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu
dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian
terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum
perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi
dengan beberapa tambahan)
Hukum
Nikah Mut’ah
Pada
awal tegaknya agama Islam nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu
‘anhu: “Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan
kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Al-Imam
Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah
diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang
shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama
telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim
hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah
mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa
jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.”
(HR. Muslim)
Adapun
nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu
Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu disebabkan
mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah
selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran
Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di dalam
beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali
gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu
‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang,
bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak
ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari
no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3.
Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim
no. 1405)
4.
Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana
mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk
mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
Nikah
Mut’ah menurut Tinjauan Syi’ah Rafidhah
Dua
kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan
tentang nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:
A.
Penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk
penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan
mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq
berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku.
Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan
barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini
selain agama kami.”
Di dalam
halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah
nikah mut’ah itu memiliki pahala?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan
wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut
kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka
Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah
mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada
rambutnya.”
Bahkan
As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493
melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa
melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa
melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa
melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu ‘anhu, dan
barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”
B.
Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah
1. Akad
nikah
Di dalam
Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far
Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita
yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau
menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah
dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak
pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah
senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah
disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut
mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan
halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil
Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)
2. Tanpa
disertai wali si wanita
Sebagaimana
Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang
masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.”
(Tahdzibul Ahkam 7/254)
3. Tanpa
disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)
4.
Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang
pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
- wanita
Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)
- wanita
Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i'il Islam hal. 184)
- wanita
pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- wanita
pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
- wanita
sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
- wanita
yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
-
istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
- wanita
Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
- sesama
pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)
5. Batas
usia wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan
bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun
masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255
dan Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)
6.
Jumlah wanita yang dimut’ah
Kaum
Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan
seorang pria menikah walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita
tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)
7. Nilai
upah
Adapun
nilai upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan
putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok,
tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal
Kafi 5/457 dan Tahdzibul Ahkam 7/260)
8.
Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?
Boleh
bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali.
(Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)
9.
Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang
lain?
Kaum
Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:
a. Bila
seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya
kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan
istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami
tadi bepergian. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak
berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!!!
b. Bila
seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak
wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu.
Itu semua dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi…
Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)
10.
Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun
wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi
secara mut’ah. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-38)
11.
Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya,
saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui
adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi… Tsumma
Lit-Tarikh hal. 44)
12.
Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang
pria secara bergiliran. Bahkan, di masa Al-’Allamah Al-Alusi ada pasar
mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya
(germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)
Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu Menentang Nikah Mut’ah
Para
pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka
tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat
lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim
diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu –yang
ditahbiskan kaum Syi’ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah mut’ah.
Beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.”
Beliau (Ali radhiyallahu ‘anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah
mut’ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari
hadits no. 5119.
Wallahu
A’lam Bish Showab.







0 komentar:
Posting Komentar