Pages

Search In

Hasil penelusuran

Minggu, 30 Juni 2013

Pengertian dan Hukum NIKAH



Kawin Kontrak Menyimpang dari Ajaran Islam

"Kawin kontrak itu hubungan pernikahan yang disepakati berlangsung dalam batas waktu tertentu. Kalau konteksnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan biologis dan berakhir dalam waktu yang telah disepakati, maka hal ini tidak dibolehkan dalam ajaran Islam," kata Ustad S. Mudzakir Assagaf kepada ANTARA di Ambon, Selasa.

Menurutnya, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun melalui pernikahan substansinya bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis semata, melainkan juga untuk membangun struktur sosial yang baik, melahirkan generasi penerus yang berakhlak dan berkualitas serta hubungan suami istri yang membawa ketenangan.

"Intinya, ada konteks yang lebih besar daripada sekedar perkawinan untuk memuaskan kebutuhan biologis, sehingga dalam konteks ini kawin kontrak dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap ajaran Islam," katanya.
Secara pribadi ia menilai seharusnya perilaku seperti itu ditinggalkan, karena kalau tetap dilakoni maka beda kawin kontrak dengan berzina sangat tipis dan tidak ada subtansi apa-apa selain pemenuhan kebutuhan biologis semata, kendati kawin kontrak dilegitimasi dengan proses tertentu sehingga dianggap legal, katanya.

Mudzakir Assagaf berharap pemerintah membuat regulasi yang bisa meminimalisir perilaku-perilaku tersebut sehingga tidak mengganggu tatanan kehidupan sosial budaya yang lebih baik di Indonesia.

"Harus ada sebuah proses sistemis untuk membina moral pelaku kawin kontrak. Kalau perlu dibuatkan aturan atau perda yang dapat meminimalisir munculnya perilaku menyimpang seperti itu," katanya.(*)

 

KAWIN KONTRAK : TRADISI KAUM SYI’AH

Dalam urusan nikah mut’ah Syi’ah memiliki banyak keburukan, kekejian, hal-hal yang menjijikkan dan kebodohan terhadap Islam. Mereka mengangkat nilai setiap keburukan dan meninggikan setiap yang kotor. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (berupa zina) atas nama agama dan dusta terhadap para Imam. Mereka membolehkan semua yang mereka mau, mereka membiarkan nafsu tenggelam dalam kelezatan yang menipu dan kemungkaran-kemungkaran. Mut’ah adalah sebaik-baik saksi dan bukti, mereka telah menghiasi mut’ah dengan segala kesucian, keagungan dan keanggunan, hingga mereka menjadikan balasan pelakunya adalah surga -Naudzubillah-, mereka memperbanyak keutamaan-keutamaan mut’ah dan keistimewaannya, seraya menyesatkan -sebagaimana lazimnya- orang-orang yang mereka jadikan sebagai tawanan bagi ucapan-ucapan mereka yang dusta. Di antaranya ialah:
Al-Kasyani dalam tafsirnya, berbohong atas Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda, Telah datang kepadaku Jibril darl sisi Tuhanku, membawa sebuah hadiah. Kepadaku hadiah itu adalah menikmati wanita-wanita mukminah (dengan kawin kontrak). Allah belum pernah memberikan hadiah kepada para nabipun sebelumku, Ketahuilah mut’ah adalah keistimewaan yang dikhususkan oleh Allah untukku, karena keutamaanku melebihi semua para nabi terdahulu. Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dalam umurnya, la menjadi ahli surga. Jika laki-laki dan wanita yang melakukan mut’ah berter di suatu tempat, maka satu malaikat turun kepadanya untuk menjaga hingga mereka berpisah. Apabila mereka bercengkerama maka obrolan mereka adalah berdzikir dan tasbih. Apabila yang satu memegang tangan pasangannya maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan bercucuran keluar dari jemari keduanya. Apabila yang satu mencium yang lain maka ditulis pahala mereka setiap ciuman seperti pahala haji dan umrah. Dan ditulis dalam jima’ (persetubuhan) mereka, setiap syahwat dan kelezatan satu kebajikan bagaikan gunung-gunung yang menjulang ke langit. Jika mereka berdua asyik dengan mandi dan air berjatuhan, maka Allah menciptakan dengan setiap tetesan itu satu malaikat yang bertasbih dan menyucikan Allah, sedang pahala tasbih dan taqdisnya ditulis untuk keduanya hingga hari Kiamat.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani)
Mereka juga berdusta atas nama Ja’far Ash-Shadiq, alim yang menjadi lautan ilmu ini! dikatakan oleh mereka telah bersabda: “Mut’ah itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang mengingkarinya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut’ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut’ah adalah kafir murtad.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)
Mereka juga berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda: “’Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut’ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut’ah tiga kali dimerdekakan dirinya dari neraka.”
Mereka menambah tingkat kejahatan dn kesesatan merea dengan meriwayatkan atas nama Rasulullah Shallallhu‘alihi wasallam: “Barangsiapa melakukan mut’ah dengan seorang wanita Mukminah, maka seoloh-olah dia telah berziarah ke Ka’bah (berhaji sebanyak 70 kali).(‘Ujalah Hasanah Tarjamah Risalah Al Mut’ah oleh Al-Majlisi Hal.16).
Mut’ah, Rukun, Syarat dan Hukumnya
Fathullah Al-Kasyani menukil di dalam tafsirnya sebagai berikut, “Supaya diketahui bahwa rukun akad mut’ah itu ada lima: Suami, istri, mahar, pembatasan waktu (Taukit) dan shighat ijab qabul.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.357)
Dia menjelaskan, “Bilangan pasangan mut’ah itu tidak terbatas, dan pasangan laki-laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat tinggal, dan sandang serta tidak saling mewarisi antara suami-istri dan dua pasangan mut’ah ini. Semua ini hanya ada dalam akad nikah yang langgeng,” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.352)
 Syarat-syarat Mut’ah
1.      Perkawinan ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada para saksi!
2.      Laki-laki terbebas dari beban nafkah!
3.      Boleh bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita!
4.      Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!
5.      Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!
6.      Lamanya kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu!
7.      Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak!
Abu Ja’far Ath-Thusi menukil bahwa Abu Abdillah Alaihis-Salam (Imam mereka yang di anggap suci) ditanya tentang mut’ah apakah hanya dengan empat wanita?
Dia menjawab, “Tidak, juga tidak hanya tujuh puluh.”
Sebagaimana dia juga pernah ditanya apakah hanya dengan empat wanita?
Dia menjawab, “Kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karena mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya wanita sewaan.”(At-Tahdzif oleh Abu Ja’far Aht-Thusi, Juz III/188)
Mereka menisbatkan kepada imam keenam. yang ma’shum dia bersabda, “Tidak mengapa mengawini gadis jika dia rela tanpa ijin bapaknya.” (At-Tahdzif Al-Ahkam juz VII/256)
Mereka menisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq, dia ditanya, “Apa yang harus, saya katakan jika saya telah berduaan dengannya?” Dia berkata, engkau cukup mengatakan ,aku mengawinimu secara mut’ah (untuk bersenang-senang saja) berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, tidak ada yang mewarisi dan tidak ada yang diwarisi, selama sekian! hari.Jika kamu mau, sekian tahun, Dan kamu sebutkan upahnya, sesuatu yang kalian sepakati sedikit atau banyak.(Al-Furu’ Min Al Kafi Juz V/455)
Demikianlah kawin mut’ah dalam agama Syi’ah yang dengannya mereka menipu orang-orang bodoh dari kalangan orang-orang yang awam, seraya menyihir mata mereka dengan berbagai macam atraksi sulap dan sihir serta, mengada-ada ucapan dusta, atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Bantahan terhadap Kebolehan Mut’ah
Sesungguhnya nikah mut’ah pernah dibolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan dan darurat waktu itu kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau malah mengharamkan dua kali, pertama pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan yang kedua pada Fathu Makkah, tahun 8 H.
Mereka [Syi’ah sendiri] meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengharamkan pada Perang Khaibar daging himar jinak dan nikah mut’ah.” (At-Tahdzif Juz II/186) Riwayat inipun terdapat dalam sahih Bukhari. Maka semakin jelas tentang agama mereka yang dibangun atas dasar rekayasa, ucapan mereka bertentangan satu sama lain. Maka kami membantah kalian wahai Syi’ah !!, dengan kitab-kitab kalian sendiri.
Ini adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyah (berbohong). Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Syi’ah tidak boleh melakukan taqiyah dalam mut’ah, la taqiyyata fi al-mut’ah (tidak ada taqiyah dalam mut’ah).
Ali, Umar dan Ibnu Abbas Berlepas Diri
Kemudian, Umar tidak pernah mengatakan, “Mut’ah halal pada zaman Nabi dan saya melarangnya!” Tetapi mut’ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan menegakkan hukum keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal, ya, akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Di antara yang menguatkan lagi adalah pelarangan ‘Ali ketika menjadi khalifah.
Syi’ah tidak memiliki bukti dari Salaf Shalih kecuali dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, akan tetapi Ibnu abbas sendiri telah rujuk dan mencabut kembali kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika di mengetahui larangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia (Ibnu Abbas) telah berkata : “Sesungguhnya hal ini perlu saya jelaskan agar sebagian Syi’ah Rafidhoh tidak berhasil mengelabui sebagian kaum Muslimin.” (Sunan Al-Baihaqi 318 100 ; muhammad Al-Ahdal, hal. 251-252)
Sebagaimana kitab Syi’ah sendiri menyebutkan keharamannya, dan Imam Syi’ah ke-enam [yang diangap suci dari kesalahan] telah berkata kepada sebagian sahabatnya : “Telah aku haramkan mut’ah atas kalian berdua” (Al-Furu’ min Al-Kafi 2 48).
Adapun dalil mereka dengan sebagian hadits-hadits yang ada pada kitab Shahih Ahlussunnah maka hadits-hadits tersebut telah dinasakh [dihapus hukumnya]. Hal ini menjadi jelas dari hadits-hadits yang datang mengharamkan setelahnya. Di antara yang menunjukkan mut’ah bukan nikah adalah mereka [syi’ah] memandang bahwa mut’ah boleh dengan berapa saja sekalipun seribu wanita. Ini adalah menyalahi Syari’at yang hanya membolehkan [paling banyak] empat wanita.
Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi “Asy-Syi’ah minhum ‘alaihim
Poligami adalah uangkapan bagi seorang lelaki yang beristri lebih dari satu, dan ini dalam ajaran Islam tidak dilarang meski untuk melakukannya harus memenuhi syarat dan kriteria tertentu. Dalam perkembangannya poligami terkadang hanya dijadikan alasan oleh sebagian orang sebagai legalisasi, namun tidak sedikit penganut poligami yang Rumah tangganya bahagia karena di dasari dengan ajaran Agama yang diyakini kebenarannya.
Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara syah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang di wakili Departemen Agama.
Kawin Kontrak adalah sebuah perkawinan yang di batasi waktu sehingga akan berakhir sesuai ketentuan waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri. Kawin kontrak yang dalam ajaran Islam di kenal dengan Istilah Nikah Mut’ ah yang dalam perkembangan syari’at Islam nikah model ini telah dilarang.
Ketiga type perkawinan tersebut kini telah digodog rancangan undang-undangnya oleh Pemerintah yang di wakili oleh Departemen Agama dengan sebuah Rancangan Undang-undang , yang didalamnya diatur bagi orang yang melakukannya akan di kenai sangsi hukum. Akankah RUU tersebut efektif, mungkinkah ini akan menjadi sebuah solusi atau hanya akan menjadi masalah baru ? dalam kehidupan masyarakat kita, setujukah rekan-rekan semua dengan rancangan Undang-undang tersebut, sesuatu yang di halalkan oleh Tuhan mungkinkah dilarang oleh Manusia, wallahu Alam.
Berikut cuplikan beberapa pasal tentang draft RUU tersebut yang menjadi kontroversi :
Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Pasal 143, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Pasal 144, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum.
Selain mengatur tentang Perkawinan Siri, Mutah/Kontrak, RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (berbeda kewarganegaraan).

Kawin Kontrak Beda Zaman

Pada zaman Rosulullah Saw kawin kontrak (nikah mut’ah) pernah diperbolehkan bagi para sahabat yang dikirim ke medan peperangan keluar kota Mekah dan Madinah. Pada waktu itu para sahabat (prajurit-prajurit) sering mengeluhkan karena terlalu lama meninggalkan istri sampai berbulan-bulan, praktis kebutuhan biologisnya (nafsu sex) tidak pernah tersalurkan. Kondisi yang demikian dimungkinkan akan dapat mempengaruhi semangat tempur para prajurit di medan laga. Kemudian Nabi Saw dalam keadaan terpaksa mengizinkan mereka melakukan nikah mut’ah/kawin kontrak untuk sementara waktu.
“ An Saburotal Juhani ‘annahu ghozzaa ma’an Nabiyyi sholallohu ‘alaihi wassalama fii fathi makkata fa-adzana lahum rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalama fii mut’atin nisaa.’
“Dari Saburoh Al Juhani, ia berperang dengan Nabi Saw dalam menyerang kota Mekah, maka Rosulullah Saw mengijinkan mereka melakukan nikah mut’ah”
Dalam tempo yang tidak lama setelah peperangan usai dan dapat menguasai kota Makkah ,maka Nabi Saw mencabut izin pelaksanaan nikah mut’ah dan ditetapkan menjadi haram hukumnya, berdasar sabda beliau ;
“Anna rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalama harromal mut’ata faqoola yaa ayyuhan naasu innii kuntu adzantu lakum fiil istimta’i alaa wa annalloha qod harromahaa ila yaumil qiyaamatu. Rowahu Ibnu Majah”
“Sesungguhnya Rosulullah Saw telah mengharamkan nikah mut’ah, Nabi Saw bersabda ; “ Hai manusia saya telah mengizinkan kamu sekalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah Allah SWT telah mengharomkan nikah mut’ah sampai qiamat “ HR Ibnu Majah .
Semenjak itu Rosululloh Saw memansuch/menghapus izin hukum yang membolehkan pelaksanaan kawin kontrak dan diganti dengan larangan (haram) melakukan nikah mut’ah bagi siapapun sampai hari kiamat. Tidak ada rusoch (keri­nganan) lagi bagi umat Muhammad SAW melakukan kawin kontrak dengan dalih apapun.
Seiring dengan perjalanan waktu setelah Rosulullah tiada masa kholfaurrosyidin telah berlalu, berganti masa zaman ulama’pewaris Nabi dan sahabatnya (Ulama’ Salaf) hingga sekarang (Ualama’ hkolaf) terjadilah beda pemahaman terhadap pelaksanaan kawin kontrak/nikah mut’ah. Salah satu dari sekian banyak pemahaman yang tak lazim yaitu dari golongan Syi’ah berkeyakinan bahwa nikah mut’ah atau yang disebut dengan istilah kawin kontrak masih diperbolehkan.
Pandangan aneh dan sarat kedustaan ini berdasarkan logika kitab-kitab Syi’ah yang menyesatkan. Berikut ini beberapa kutipan yang membolehkan kawin kontrak menerangkan antara lain ; Dari“Ja’far shodiq berkata: “ Barang siapa yang tidak mempercayai tentang Roj’ah (kebangkitan manusia dari kubur sebelum hari kiamat) dan tidak menghalalkan mut’ah maka bukan termasuk golongan kami.
Dari keterangan sumber tersebut diatas dapat kita simpulkan nikah mut’ah / kawin kontrak secara tegas hukumnya haram (dilarang ). Belakangan, jika ada anggapan nikah mut’ah masih dapat dianulir sebagai jalan terbaik untuk menikah sementara dengan gadis, janda, atau wanita pujaannya. Dengan alasan “ al dlororotu tubihul mahdluroh” melakukan nikah mut’ah karena darurat (ada ancaman bahaya yang lebih besar), maka melakukan nikah mut’ah akan lebih afdol dari pada melakukan perzinaan. Pembenaran seperti itu termasuk pelecehan terhadap sabda Nabi Saw. Mereka seakan-akan menjauhi perzinaan. Padahal mereka mendukung perzinaan dengan mengatasnamakan pernikahan ( kawin kontrak ).Wallohu a’lamu bishowab.

Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) (1/4)

 (red. vbaitullah.or.id): Nikah mut’ah bukanlah istilah yang baru di dalam dunia Islam. Jenis nikah yang sering disebut dengan istilah kawin kontrak sempat menjadi kontoversi ketika diusulkan agar nikah jenis ini diatur dalam undang-undang yang sah. Mengapa demikian? Apa sebenarnya Nikah mut’ah itu? Bagaimana landasan hukumnya dalam Islam (Al-Qur’an dan Sunnah)?

1 Pendahuluan

Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar
dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman, yang artinaya :
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah" – (QS. adz Dzariyat:
49)
.


Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan kesinambungan
ciptaanNya, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi
masing-masing.


Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan
nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki
dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu
dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad.


Oleh karenanya, salah satu maqashid syari’ah (hikmah pensyari’atan),
yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah
dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup
sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam
juga mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan,
atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Di antara pernikahan yang
diharamkan oleh Islam, ialah seperti:


  1. Nikah tahlil, yaitu seseorang menikah dengan seorang
    wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar
    suami pertama dapat rujuk dengannya.
  2. Nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan putrinya
    dengan seseorang, dengan syarat orang yang dinikahkan tersebut juga
    menikahkan putrinya, dan tidak ada mahar atas keduanya.
  3. Nikah muhrim, dan seterusnya.


Juga terdapat pernikahan yang diharamkan, yang dikenal dengan nikah
kontrak (kawin kontrak). Nikah yang biasa disebut nikah mut’ah ini
merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah
mut’ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi’ah
dengan mengatasnamakan agama.

Berikut ini penjelasan fiqih Islam tentang hukum nikah mut’ah.


2 Definisi Nikah Mut’ah

Yang dimaksud nikah mut’ah adalah seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu,
dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian
atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya
mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.


Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa
harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar
(upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau
kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan
tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak
saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra’ dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.


Jadi, rukun nikah mut’ah menurut Syiah Imamiah- ada empat:

  1. Shighat, seperti ucapan : "aku nikahi engkau", atau
    "aku mut’ahkan engkau".
  2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
  3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
  4. Jangka waktu tertentu.
Hukum Menikah untuk Diceraikan” ketegori Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Ustadz, di lingkungan tempat tinggal ana ada kasus MBA , setelah keduanya dinikahkan dan sah sebagai suami isteri, keesokan harinya langsung diceraikan oleh suaminya. Ini hukumnya bagaimana ustadz? Jazakallah khairon katsir.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Aisyah Vakha
Jawaban
Assalamu `alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Masalah nikah dengan niat cerai sudah seringkali diperbincangkan ulama. Bentuknya adalah ketika seseorang menikahi wanita, dalam dirinya sudah ada niat untuk mentalaknya sesegera mungkin atau pada waktu tertentu.
Hukum menikah dengan niat talak ini oleh para ulama ditetapkan sebagai pernikahan yang diharamkan. Dan mereka menyebutkan bahwa pada hakikatnya pernikahan seperti ini adalah nikah mut’ah atau nikah sementara. Dan jumhur ulama semuanya sepakat bahwa nikah mut’ah dan sejenisnya itu haram hukumnya dan batil.
Al-Imam Malik mengatakan bahwa pasangan yang melakukan pernikahan mut’ah atau pernikahan sementara harus dihukum tapi bukan dengan hukum hudud. Mereka wajib dipisahkan dan bukan cerai. Karena cerai itu hanya untuk sebuah pernikahan, sedangkan dalam kasus mereka, pernikahan tidak pernah terjadi.
Adapun alasan yang dikemukakan antara lain:
1. Bahwa salah satu di antara syarat syahnya pernikahan adalah bersifat muabbadah, yaitu diniatkan untuk langgeng terus dan bukan untuk sementara saja. Kalau nantinya terjadi talak, maka sama sekali belum pernah terlintas dalam hati dan juga tidak pernah diniatkan.
2. Bahwa tujuan dari nikah dalam Islam sesungguhnya adalah untuk mendapatkan sakinah, mawaddah dan rahmah. Sebagaimana firman Allah SWT:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Sedangkan Al-Hanafiyah mengatakan bila seseorang menikahi wanita dengan niat bahwa bila nanti sudah melewati masa setahun akan diceraikan, bukanlah termasuk nikah mut’ah.
Sedangkan Al-Hanabilah mengatakan bahwa berniat untuk menceraikan ketika sejak awal menikah sudah membatalkan akad itu sendiri.
Yang menghalalkan nikah mut’ah ini umumnya adalah kalangan syi’ah Al-Imamiyah. Bahkan mereka sama sekali tidak mensyaratkan adanya wali dan saksi dalam pernikahan itu. Yang disyaratkan justru berapa harga maharnya dan berapa lama pernikahannya. Namun pada hakikatnya apa yang mereka lakukan tidak lebih dari zina atau kawin kontrak, karena tidak ada bedanya dengan pelacuran. Zina dan pelacuran sama sekali tidak bicara siapa wali dan saksi, tapi yang penting berapa tarifnya dan booking-nya berapa lama.
Oleh kalangan jumhur ulama dan seluruh umat Islam sepanjang masa, nikah kontrak atau nikah dengan niat talak diharamkan secara tegas.
Wallahu a`lam bish-shawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.

Kawin Kontrak Atau Nikah Mu’tah Dilarang Dalam Islam

Rasulullah bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (Hadits Riwayat Muslim)
Jika kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat mereka. Bagaimana tidak, perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu “nikah mut’ah”. Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang benar-benar diharamkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah Rafidhah.
Definisi Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)
Hukum Nikah Mut’ah
Pada awal tegaknya agama Islam nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
Nikah Mut’ah menurut Tinjauan Syi’ah Rafidhah
Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:
A. Penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”
Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya.”
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu ‘anhu, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”
B. Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah
1. Akad nikah
Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)
2. Tanpa disertai wali si wanita
Sebagaimana Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam 7/254)
3. Tanpa disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)
4. Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
- wanita Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)
- wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i'il Islam hal. 184)
- wanita pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
- wanita sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
- wanita yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
- wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
- sesama pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)
5. Batas usia wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)
6. Jumlah wanita yang dimut’ah
Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan seorang pria menikah walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)
7. Nilai upah
Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/457 dan Tahdzibul Ahkam 7/260)
8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?
Boleh bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)
9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?
Kaum Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:
a. Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!!!
b. Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)
10. Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut’ah. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-38)
11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 44)
12. Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran. Bahkan, di masa Al-’Allamah Al-Alusi ada pasar mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya (germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu Menentang Nikah Mut’ah
Para pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu –yang ditahbiskan kaum Syi’ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah mut’ah. Beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.” Beliau (Ali radhiyallahu ‘anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.
Wallahu A’lam Bish Showab.

0 komentar:

cari artikel lain ?

Arsip Blog

"Semoga betah berada di blog yang sangat tidak sempurna ini ya teman .. dan terima kasih karena telah menyempatkan waktunya untuk berkunjung di blog ini .. "